Nilai karya sastra

Sejak kecil, saya sangat menyukai membaca. Bisa dibilang, membaca sudah merupakan bagian dari hidup saya yang tak terpisahkan. Apapun yang ada akan saya baca, mulai dari koran, majalah, novel, dan sebagainya. Tapi yang terutama, tentu saja karya fiksi.
Saya telah sangat lama menggemari karya-karya fiksi. Saat SD, saya mulai menggemari karya-karya Agatha Christie, penulis misteri kondang, dan tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Beranjak SMP, selera saya beralih pada karya-karya klasik penulis luar negeri seperti karya Charles Dickens, Bronte bersaudari, Lucy Maud Montgomery, dan masih banyak penulis lain yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Sekarang, ketika saya sudah SMA, tentu saja, kebiasaan itu masih berlanjut. Hanya saja, saat ini saya memperluas jenis bacaan saya dengan tidak hanya membaca karya-karya fiksi, tapi juga buku-buku yang dapat mengasah intelektual dan kemampuan berpikir saya.
Bertahun-tahun terbiasa membaca bermacam-macam karya sastra, membuat saya dapat mengungkapkan pandangan saya secara analitis mengenai karya sastra pada umumnya. Saya mengetahui bahwa setiap penulis mempunyai ciri khas dan gaya menulis masing-masing yang berbeda satu sama lain. Ada penulis yang dapat merangkai jalinan plot yang rumit dan tak dapat ditebak, ada juga penulis yang kekuatannya ada pada penyampaian secara linguistik.
Secara profesional, saya bukanlah kritikus sastra, namun setiap pembaca karya sastra pun bisa dianggap kritikus sastra, bukan? Karena toh pembaca juga ikut andil dalam menilai suatu karya sastra.
Berdasarkan pengamatan saya bertahun-tahun, saya bisa menyimpulkan bahwa dalam mengkritik suatu karya sastra, ada tiga hal pokok yang bisa dinilai:
1. Jalan cerita/plot
2. Bahasa
3. Kandungan/isi cerita
Sebuah karya sastra bisa dinilai dari tiga hal berikut, baik dari segi jalan cerita/plot, bahasa, maupun kandungan/isi cerita. Saya akan mencoba menjelaskan semampu saya ketiga poin tersebut.
Pertama, dari segi jalan cerita. Maksud saya di sini adalah bukan hanya sekedar menilai alurnya maju/mundur, namun bagaimana sang penulis merangkai dan menyajikan karya mereka. Saya perhatikan banyak penulis yang menyajikan karyanya biasa-biasa saja menurut saya, tak ada hal yang mengejutkan, yang bisa membuat pembaca terbawa arus dalam lika-liku dan rasa penasaran akan jalannya cerita. Banyak penulis yang mempunyai ide bagus namun kurang baik cara menyajikan karyanya. Sebaliknya, saya perhatikan penulis-penulis seperti Agatha Christie dapat menyajikan konflik dan ending yang tak terduga oleh pembaca, bahkan memutarbalikkan jalan cerita. Sebagai penulis misteri, tentu saja beliau mempunyai kemampuan yang hebat dalam merangkai plot rumit. Justru di situlah letak kejeniusannya.
Kedua, dari segi bahasa. Seorang penulis itu tak ubahnya seorang pelukis. Bedanya, dia melukis dengan untaian kata-kata. Seorang penulis harus bisa memberikan visualisasi akan gambaran nyata cerita tersebut pada pembaca melalui rangkaian kata-katanya. Seorang penulis juga hendaknya bisa membuat emosi pembaca ikut terbawa arus melalui deskripsi detil dan untaian kata-kata puitis. Karya-karya Lucy M. Montgomery dan Dee kekuatannya terletak pada bahasa. Saat saya membaca karya LM Montgomery, seringkali ia memberikan penggambaran nyata akan suatu pemandangan alam hingga seolah-olah saya bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri. Sementara pada karya Dee, kata-katanya cenderung puitis dan kuat, cocok bagi sebagian besar karyanya yang memang mengusung tema romance.
Ketiga, dari segi kandungan/isi cerita. Sebenarnya ini hal paling utama yang dinilai seorang pembaca setelah membaca suatu karya fiksi. Dia akan menilai apa isi cerita tersebut menurutnya bagus atau tidak. Hal ini cenderung relatif, sebenarnya, karena tentunya selera setiap orang berbeda-beda. Tapi kalau kita menilai secara objektif, akan terlihat isi cerita yang berkualitas dan yang biasa-biasa saja.
Sekian saja pengamatan saya akan 3 segi penilaian suatu karya sastra. Semoga bisa menjadi masukan untuk kalian, para penikmat sastra seperti halnya saya.

Comments

Popular posts from this blog

A little reflection

On love; I guess

Salah