Galih dan Ratna; kisah cinta manis yang realistis

Baru-baru ini saya menonton film Galih dan Ratna, yang merupakan film remake dari film Gita Cinta dari SMA tahun 1979, dan seketika saya langsung jatuh cinta pada film tersebut. Bagi yang belum tahu, film Gita Cinta dari SMA merupakan adaptasi film dari novel karangan Eddy Iskandar berjudul sama, yang dibintangi oleh Rano Karno dan Yessy Gusman.

Dalam film remake ini, meski para tokoh utamanya tetap sama, namun jalan ceritanya disesuaikan dengan masa kini, serta ditambahkan tokoh-tokoh pendukung yang baru hingga para penonton bisa merasa lebih terikat dengan film. Salah satu hal yang saya kagumi adalah, Lucky Kuswandi, sang sutradara film ini, mampu merangkai ulang sebuah film klasik dengan sedemikian rupa agar terasa nuansa kekinian, namun tak lepas dari cerita utama, yaitu kisah cinta antara Galih yang berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dengan Ratna yang berasal dari keluarga berada. Lucky mampu mengembangkannya bukan hanya sebagai kisah cinta antara dua remaja, namun juga menggambarkan perjuangan masing-masing menggapai mimpi serta konflik antara realitas dan idealisme, yang tak muncul di cerita aslinya. Selain itu, film ini juga menyindir secara halus isu-isu yang ada di masyarakat kita, seperti adegan ketika seorang siswi berdebat pada guru bahwa pendeknya rok tidak menentukan moralitas, maupun adegan ketika siswi lain dimarahi oleh guru karena tertangkap membawa buku sejarah kiri ke sekolah. Hal itu diungkapkan hanya melalui dialog satu-dua kalimat oleh pemeran pendukung, namun bisa dikatakan cukup menyentil.

Hal lain yang saya kagumi ialah bagaimana para aktor pendukung begitu bersungguh-sungguh dalam berakting, meskipun peran mereka hanya sebagai pemeran pendukung. Marissa Anita telah sukses menempatkan dirinya sebagai tantenya Ratna yang ceria dan menyenangkan, jenis orang dewasa yang akan dianggap asik oleh anak remaja; sampai pada titik dimana saya merasa ingin punya tante seasik dia untuk diajak ngobrol. Joko Anwar serta Indra Birowo dalam peran mereka sebagai guru galak dan supir angkot juga benar-benar terlihat kesungguhan mereka dalam berakting.

Alm. Chrisye dulu bekerjasama dengan Guruh Soekarnoputra membuat lagu soundtrack untuk film Gita Cinta dari SMA, salah satunya berjudul Gita Cinta. Kali ini, Sheryl Sheinafia, pemeran Ratna, mengaransemen ulang dan menyanyikan lagu tersebut. Saya mendengarkan lagunya sebelum filmnya tayang dan saya menyukainya. Saya kira hanya sampai situ, ternyata tidak. Dengan musik sebagai tema utama film ini yang cukup banyak ditonjolkan, lagu Gita Cinta juga menggambarkan proses hubungan antara Galih dan Ratna. Di sini diceritakan bahwa Ratna-lah yang menulis lagu tersebut sejak dia jatuh cinta, dan seiring dengan proses penulisan lagu tersebut, kita juga menyaksikan perkembangan hubungan antara Galih dan Ratna, sehingga para penonton pun bisa benar-benar meresapi dalamnya makna lagu tersebut ketika akhirnya sudah selesai.

Menurut saya momentumnya pas sekali ditayangkan pertama kali pada Hari Musik Nasional, karena tema tentang musik memiliki peran yang cukup signifikan dalam film ini.

Saya sudah menggemari Lucky Kuswandi sejak menonton film besutannya yang berjudul Selamat Pagi, Malam dan ketika mengetahui bahwa ia akan menyutradarai Galih dan Ratna, saya benar-benar menanti-nanti keluarnya film tersebut. Saya bersyukur pada akhirnya rasa penasaran saya terpuaskan dan saya sangat puas dengan bagaimana film ini disajikan. Tentunya, saya berharap akan terus bisa menonton karya-karyanya di layar kaca untuk ke depannya nanti.

Film ini menyuguhkan pada kita kisah cinta indah dan berbunga-bunga yang kerap kita alami saat masa remaja, namun pada saat bersamaan juga menyadarkan pada kita bahwa hidup itu bukan dongeng, ia adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, seperti halnya cinta. Film ini juga tak mempunyai nuansa melankolis yang berlebihan ataupun terlalu mendramatisir rasa sedih/sakit, malah, ia akan membuat kita merasa lega, meskipun ending-nya tak sesuai yang diharapkan bagi sebagian orang. Beberapa adegan yang lucu di sana-sini juga terasa segar dan tak terkesan terlalu dibuat-buat. Galih dan Ratna tidak hanya mengajarkan pada kita tentang ketulusan cinta, namun juga tentang keteguhan dalam menggapai impian.

N.B. On a more serious note, I'm interested to write about how important it is for us Indonesians to watch Indonesian movies more than foreign movies. I'll write about that in another post sooner or later. 

Comments

Popular posts from this blog

A little reflection

On love; I guess

Salah