Kemunduran generasi muda

Jujur, saya amat kecewa dengan mayoritas generasi muda yang ada sekarang ini. Karena saya juga terhitung dalam kategori anak muda, bukan berarti saya melecehkan kawan-kawan seangkatan saya dan menganggap diri saya yang terbaik. Bukan, bukan begitu.
Akhir-akhir ini saya sering sekali melihat, terutama pada kaum kelas menengah, banyak anak muda yang hanya menghabiskan waktunya untuk bermain gadget, sebentar-sebentar mengambil selfie, dan merasa wajib untuk mengunggah dan mengumumkan segala aktivitas yang dia lakukan di Path (atau sosial media lainnya). Dan terutama, dalam sekolah, saya lihat banyak diantara mereka yang menomorduakan sekolah dan lebih memilih untuk meributkan tempat hangout yang asik untuk malam Minggu berikutnya. Mereka santai dalam menempuh pendidikan dikarenakan hidup mereka sudah mapan disokong orangtua, makanya mereka enggan keluar dari zona nyaman dan memilih untuk terus berkubang di dalamnya. Banyak juga yang tak mempunyai kesadaran untuk menuntut ilmu yang sebenar-benarnya, yang tidak paham untuk apa mereka sekolah, hanya mengerti bahwa jika mendapat nilai bagus maka akan masuk sekolah bagus dan punya masa depan cerah. Ada juga para remaja Muslim yang kurang mempunyai kesadaran untuk menjalankan ibadah dengan sepenuh hati; menganggap bahwa sekedar shalat dan puasa di bulan Ramadan sudah cukup, dan selesai. Yang penting kewajiban sudah ditunaikan, yang penting tidak dosa, agar tidak masuk neraka. Bukankah begitu? Amat sangat disayangkan bahwa mereka kurang antusias untuk mempelajari agama mereka sehingga citra orang Muslim sebagai orang-orang yang berakhlak baik telah berkurang.
Teknologi dan kemajuan zaman telah banyak berperan dalam kemunduran maupun kemajuan kaum muda zaman sekarang ini. Dengan akses yang tak terbatas terhadap segala hal dan standar kehidupan yang cukup memadai, anak-anak muda pun terlena oleh hal-hal yang kurang penting dan mengabaikan hal-hal yang lebih mendesak yang terletak di depan mata. Jika kita merasa lebih nyaman nongkrong ke mall dan kafe setiap saat dan merasa bahwa sekolah hanyalah beban, maka silakan. Silahkan saja abaikan pendidikanmu. Kalau perlu (dan berani), tinggalkan bangku sekolah agar bisa terus menikmati kehidupan mewah ala kelas menengah itu tanpa gangguan. Tapi ingat, kita nongkrong, ngafe, beli gadget, itu semua butuh uang yang tak sedikit. Dan jangan lupa, meskipun itu uang saku kita, tapi sejatinya uang itu adalah hasil jerih payah orangtuamu, yang mungkin dulu bersusah payah sekolah agar bisa mencapai tingkat kesejahteraan yang mapan. Jikalau nanti orangtuamu sudah menua, tak bisa lagi mencari nafkah, sementara kamu tak punya keahlian dalam bidang apapun, maka kamu takkan bisa lagi hangout sana-sini.
Saya akui, seperti halnya remaja biasa, saya juga ingin nongkrong di kafe dan tak jarang merasa senang saat berada di mall, lepas dari penatnya pembelajaran di sekolah. Adakalanya pula saya terlalu asik mencari akses wi-fi hingga lupa ada teman di sebelah yang bisa diajak bicara. Namun saya tahu, semua kenikmatan itu sejatinya semu. Saya pun berusaha menahan diri untuk tidak berlebihan saat menikmati kesenangan-kesenangan semacam itu. Saya tak ingin terlena dan ikut terbawa arus menikmati kehidupan sebagai warga kelas menengah. Saya berusaha memandang diri saya sebagai manusia biasa, yang tak punya kendali atas hidup dan mati saya, dan berkewajiban untuk membantu sesama manusia.
Lagipula, saya lebih senang membaca buku ditemani segelas coklat hangat atau jalan kaki di sekitar rumah dibanding nongkrong di mall, karena tak jarang saya merasa sumpek saat berada di tengah suasana mall yang riuh rendah.

Comments

Popular posts from this blog

A little reflection

On love; I guess

Salah