Opini politik

Pada hari ini, Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta, telah dinyatakan bersalah atas tindak pidana penodaan agama dan divonis hukuman dua tahun penjara. Kaum intoleran yang sudah lama mengkampanyekan agar beliau ditahan oleh pihak berwajib bersorak ria, sementara pihak-pihak yang mengidolakan Ahok serta mengapresiasi kerja kerasnya mengekspresikan kesedihan serta kekecewaan mereka di media sosial mengenai penegakan hukum di negara ini.

Terlepas dari kinerjanya yang memuaskan, secara pribadi saya kurang suka dengan beberapa kebijakan beliau yang mendiskreditkan rakyat kalangan menengah ke bawah, seperti menggusur tanpa mempertimbangkan faktor sosial budaya yang ada. Meski begitu, vonis yang ditimpakan pada Pak Ahok ini merupakan sebuah ketidakadilan, serta cerminan bahwa sentimen agama serta ras masih merupakan alat politik yang bisa digunakan untuk menggiring opini publik pada hal-hal yang tak semestinya. Selain itu, bisa jadi hal ini juga merupakan akibat dari apatisme kita terhadap isu-isu politik serta keengganan kita sebagai kalangan menengah ke atas untuk bersuara melawan rasisme dan fanatisme yang berlangsung di negeri kita.

Menutup mata terhadap perkembangan politik di negara kita dengan alasan "politik itu kotor" tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi justru malah akan menambahnya. (Lagipula, yang kotor itu politisinya, bukan politik itu sendiri. Bedakan antara kedua hal itu.) Ketidakpedulian kita pada politik justru akan meningkatkan kesempatan bagi para politisi busuk untuk merumuskan kebijakan yang hanya akan menguntungkan mereka, dan tidak memberi manfaat apapun bagi rakyat. Termasuk juga menyebar sentimen kebencian kepada golongan tertentu, hingga berakibat pada kebobrokan sistem, yang, sialnya, baru disadari setelah hal itu terlanjur terjadi.

Di samping itu, saya melihat bahwa ada semacam keengganan dari kalangan menengah ke atas untuk bersuara selain lewat sosial media. Pihak pengadilan bisa jadi merasa terintimidasi dengan banyaknya jumlah kaum intoleran yang turun ke jalan untuk menuntut agar Pak Ahok dipenjara, sehingga itu memicu mereka untuk mengeluarkan vonis tersebut. Namun, tak banyak dari kalangan progresif yang berani berserikat, turun ke jalan dan bersuara untuk menentang rasisme dan fanatisme yang tengah berlangsung. Memang, ada parade Bhinneka Tunggal Ika, yang diadakan setelah demo 411 yang bertujuan untuk menyuarakan kebhinekaan di tengah arus intoleransi yang ada. Namun, berbeda dengan demo 411, parade ini hanya diorganisir oleh sekelompok orang sebagai panitia, bukan oleh suatu organisasi kokoh seperti FPI yang mampu memobilisasi massa dari rakyat biasa yang bukan anggota FPI. Karena itu, ide-ide mengenai toleransi keberagaman yang diusung juga tidak bisa disuarakan secara konsisten, sehingga tidak lama melekat dalam pikiran banyak orang.

Penggunaan pasal karet juga berkontribusi cukup besar dalam kejadian ini. UU penodaan agama, seperti halnya UU ITE, merupakan sebuah pasal karet yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan mereka. Ini dijadikan senjata oleh pihak-pihak yang membenci Pak Ahok untuk menyingkirkan beliau dari kursi pemerintahan, agar mereka bisa dengan lancar menjalankan kepentingannya tanpa terendus oleh Pak Ahok. Gus Dur pernah mengajukan uji materi UU penodaan agama pada Mahkamah Konstitusi, dengan alasan bahwa UU tersebut tidak sesuai dengan Pancasila serta dianggap akan membunuh kebebasan berpendapat di Indonesia. Sayangnya, uji materi ini ditolak oleh MK pada saat itu. Human Rights Watch tahun lalu juga telah mendesak Presiden Jokowi untuk menghapus UU penodaan agama, karena cenderung hanya akan menguntungkan penganut agama mayoritas di wilayah tersebut. Sebelumnya, di Indonesia pasal ini juga telah memakan banyak korban, diantaranya HB Jassin, Arswendo Atmawiloto, serta para penganut Ahmadiyah.

Jika kalangan menengah ke atas tidak hanya berkampanye melalui tagar di linimasa, namun juga membentuk sebuah perkumpulan untuk secara konsisten menyuarakan ide-ide progresif, maka, saya kira, gagasan seperti ini akan lebih melekat dalam hati masyarakat, juga akan bisa mengedukasi mereka dengan lebih baik. Tidak menutup kemungkinan bahwa hal ini juga akan menjadi pertimbangan pemerintah serta pihak berwajib, sehingga mereka akan jadi lebih berhati-hati untuk bertindak.

Akhir kata, bagi pihak yang bersedih atas penetapan vonis Pak Ahok, lebih baik dari sekarang mulai berpikir serta bertindak bagaimana caranya kita melawan elit-elit politik, tirani negara, serta mengubah sistem yang berpotensi merugikan orang-orang yang bisa jadi kelak bernasib seperti Pak Ahok menjadi lebih baik. Juga berkampanye melawan pasal karet seperti UU penodaan agama agar tidak lagi disalahgunakan. Karena bersedih tak akan menyelesaikan masalah. 

Comments

Popular posts from this blog

A little reflection

On love; I guess

Salah