Refleksi pasca-gempa

Dalam seminggu terakhir, hidup saya beserta kawan-kawan diliputi ketakutan dan kecemasan yang seakan tak mau hilang. Semangat awal tahun ajaran, di saat anak-anak memasuki gerbang sekolah dengan penuh harapan, terpaksa diinterupsi oleh bencana yang datang tak terprediksi. Rutinitas keseharian yang penuh keteraturan dalam seketika terobrak-abrik dengan adanya gempa bumi yang meluluhlantakkan bangunan serta menggoncang jiwa para penduduk sekitar.

Tanpa kita sadari, bencana mempunyai potensi untuk menyentak kesadaran kita akan betapa berharganya kehidupan sehari-hari yang sesekali terasa menjemukan dan melelahkan. Berkumpul dengan banyak orang lain di suatu tempat yang jauh dari rumah, dan tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu. Menunggu bukanlah suatu aktivitas yang menyenangkan jika pikiran kita selalu dihinggapi kekhawatiran dan rasa takut yang mencegah kita untuk memejamkan mata dan beristirahat sejenak. Berada dalam keadaan seperti itu, membuat kita ingin kembali pada kegiatan sehari-hari yang menyibukkan diri. Kita pun merasa rela untuk memberikan apapun selama tatanan hidup sehari-hari kembali berlangsung secara konstan. Namun malangnya, keinginan itu seringkali tak bisa terwujud dengan seketika.

Ketika sebuah bencana besar terjadi, butuh waktu yang lama agar kondisi jiwa serta kondisi lingkungan untuk pulih dan kembali seperti semula. Hidup orang-orang yang hidupnya terdampak oleh bencana tersebut pun tak akan sama lagi. Status sosial ataupun pengaruh yang dimiliki takkan bisa mengembalikan apa yang telah direnggut dari diri kita. 

Namun, adakalanya bencana justru memperkuat solidaritas masyarakat, bahkan mampu menyatukan sebuah bangsa. Dalam artikel terbarunya di TIME, Ian Bremmer menulis bahwa bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh tahun 2004 silam justru memicu rekonsiliasi antara pemerintah dan pihak pemberontak. Daerah konfllik yang terisolir pun dibuka demi mengalirnya bantuan kemanusiaan di Aceh. Sejak itu, Aceh pun menjadi salah satu daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia.

Dan jika kita tilik secara umum, masyarakat yang tergerak oleh empati pun akan terdorong untuk bersatu dan melakukan segala yang mereka bisa untuk membantu para korban bencana. Bukan hanya bantuan yang bersifat materiil seperti uang, makanan, dan pakaian, namun juga bantuan tenaga sukarelawan. Baru-baru ini, Pusat Sukarelawan Bencana di Prefektur Kumamoto membuka lowongan bagi siapapun yang ingin mendaftar jadi sukarelawan yang bertugas untuk membagikan makanan, membersihkan tempat evakuasi, dan sebagainya. Meski hanya ada 300 lowongan yang tersedia, namun ada sekitar 500-600 orang yang mendaftar, hingga pihak pemerintah pun mempertimbangkan untuk meningkatkan jumlah tempat penyebaran sukarelawan.

Secara pribadi, saya mengaku bahwa saya cukup beruntung karena meskipun Prefektur Oita, tempat saya tinggal, ikut merasakan dan terkena dampak gempa, namun kerusakan disini tidak begitu parah dibanding dengan Kumamoto. Meskipun warga disini sempat dievakuasi selama beberapa hari, namun persediaan makanan masih mengalir lancar, dan kegiatan sehari-hari pun berangsur-angsur kembali seperti biasa. Namun dalam seminggu terakhir terjadi gempa susulan selama hampir setiap hari, sehingga kami harus tetap waspada akan resiko terjadinya gempa besar. Oleh karena itu, saya beserta kawan-kawan disini tidak bisa sepenuhnya tenang. Pada satu titik, saya bahkan merasa seakan-akan rasa takut ini tiada berujung.

Comments

Popular posts from this blog

A little reflection

On love; I guess

Salah