Pilihan

Baru-baru ini saya membaca ulang sebuah novel berjudul Muhammad: Sang Lelaki Penggenggam Hujan karya Tasaro GK. Mungkin sebagian dari kalian ada yang pernah membacanya, mungkin juga tidak. Tidak, saya tak akan mengupas isi novel tersebut. Hanya, dalam novel tersebut ada sesuatu yang menarik perhatian saya.
Ada sebuah tokoh wanita bernama Astu, dia terpaksa menikah dengan Parkhida, seorang pria yang dibencinya, karena berbagai alasan tertentu. Dia sebenarnya mencintai orang lain, Kashva, tokoh utama dalam novel ini, namun dikarenakan berbagai alasan, mau tak mau dia menikah dengan Parkhida. Di situ diceritakan bahwa sejak awal tahun pernikahannya Astu sangat tidak bahagia. Pekerjaan sehari-harinya hanyalah mengurus suami dan rumahnya. Berbeda sekali dengan kesehariannya dulu, berdiskusi dengan Kashva mengenai masalah-masalah agama. Hari demi hari dia menjalani kehidupannya dengan muram. Bahkan ketika anaknya lahir pun, tetap saja ada ruang hampa di hatinya. Kerap kali dia menangisi nasibnya sendiri, merasa menjadi makhluk yang tak berguna.
Dari situ kemudian saya berpikir. Berapa banyak orang yang tak ditakdirkan dengan orang yang mereka cintai, lalu kemudian menikah dengan orang yang tak dicintainya? Berapa banyak orang yang terjebak dalam nasib mereka? Dan bukan hanya soal pernikahan. Pastilah ada banyak juga yang terjebak dalam jurusan/pekerjaan yang tak disukainya hanya karena terpengaruh omongan orang atau karena inilah satu-satunya pilihan. Mungkin berjuta-juta orang setiap harinya mengalami nasib seperti itu.
Lalu kemudian saya tersadar dan berpikir lagi, saya tak mau seperti mereka. Saya tak mau hanya pasrah dan menggantungkan nasib saya pada pilihan yang ada. Saya tak mau terus terjebak dalam pilihan yang tak saya senangi untuk kemudian menjalaninya dengan sesal. Saya ingin agar bisa benar-benar yakin pada pilihan yang saya buat untuk kemudian melangkah maju.
Beberapa waktu lalu, saya membuat sebuah keputusan yang cukup mengejutkan. Saya berpindah jurusan dari IPA ke IPS. Alasan saya berpindah jurusan bukan semata-mata karena jurusan IPA itu susah. Saya pindah karena saya menyadari bahwa passion saya lebih ke bidang IPS daripada IPA. Saya juga baru sadar, jurusan universitas yang ingin saya masuki semuanya di bidang IPS. Saya sama sekali tak tertarik untuk memasuki jurusan bidang IPA. Lalu untuk apa saya berlelah-lelah mempelajari Fisika dan Kimia, sedangkan jurusan yang ingin saya masuki tak ada kaitannya sama sekali dengan apa yang saya pelajari saat ini? Akhirnya saya pun memutuskan untuk pindah.
Pada awalnya, saya juga masuk IPA hanya coba-coba, toh jurusan IPA kan bisa kemana-mana, gampang, siapa tahu nanti malah tertarik masuk bidang IPA. Namun lama-kelamaan saya mulai tak betah, dan justru lebih senang mempelajari pelajaran bidang IPS.
Saya bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bisa menyadari pilihan yang benar-benar saya inginkan dan diberi kesempatan untuk itu, karena banyak orang yang tak seberuntung saya.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang terjebak dalam pilihan yang tak mereka senangi? Seperti para pemulung dan pengamen jalanan, misalnya. Mau tak mau mereka harus menjalaninya, karena itulah satu-satunya pilihan yang ada. Itulah satu-satunya cara bagi mereka untuk menyambung hidup. Bagaimana cara mereka menyikapi  pekerjaan sehari-hari mereka?
Hanya satu jawabannya: bersabar. Mungkin ada diantara mereka yang mengeluh atas nasib mereka, tapi juga tak sedikit yang bersabar dan menjalani kehidupannya sehari-hari dengan hati lapang. Malah ada yang akhirnya mencoba menyukai pekerjaan masing-masing.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah, jangan pernah ragu-ragu dalam membuat pilihan. Ikuti kata hatimu. Yakinlah selalu dalam pilihan yang kamu buat, dan pastikan itu karena keinginanmu sendiri, bukan karena terpengaruh orang lain. Kalau akhirnya kita terperangkap dalam sebuah pilihan yang tidak kita senangi, maka jika ada pilihan lain, segeralah berpindah pada pilihan itu. Atau kalau tidak, cobalah untuk bersabar dan berbahagialah dengan apa yang ada. Walau kita tak mendapat apa yang kita inginkan, pada akhirnya, kita selalu ditakdirkan untuk mendapat yang terbaik. Dan kabar baiknya, meskipun seluruh kuasa takdir dipegang oleh Tuhan, kita diberi kekuasaan penuh untuk menentukan pilihan kita masing-masing.
Akhir kata, saya ingin menutup tulisan ini dengan kutipan dari kumcer Tere Liye, Berjuta Rasanya:
"Nak, apakah ada yang pernah berpikir hidup ini bukan soal pilihan? Karena jika hidup hanya sebatas soal pilihan, bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu?"

Comments

Popular posts from this blog

A little reflection

On love; I guess

Salah