Budaya membaca di Indonesia
Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan diri berkunjung ke toko buku yang cukup besar dan terkenal bersama sahabat-sahabat saya. Awalnya, saya berkeinginan untuk membeli buku fiksi dan nonfiksi berbahasa Indonesia (murni, bukan terjemahan) agar bisa saya bawa saat kembali ke Jepang. Saya mendapatkan beberapa buku fiksi yang memang sudah saya inginkan sejak lama. Namun sayangnya, saya tidak menemukan banyak buku nonfiksi yang cukup menarik untuk saya bawa pulang. Saat saya menelusuri bagian buku-buku nonfiksi, yang saya temukan sebagian besar adalah buku-buku nonfiksi yang merupakan buku-buku kuliah, dan sangat sedikit buku-buku nonfiksi yang diperuntukkan bagi konsumsi publik. Walaupun akhirnya saya membeli satu buku nonfiksi, namun saya tetap saja kecewa dengan kenyataan yang telah saya lihat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa budaya literasi Indonesia masih tertinggal jauh dibanding negara-negara lain. Menghabiskan waktu membaca buku tidaklah lebih menarik dibandingkan, katakanlah, bercengkerama dengan teman. Terlebih lagi dengan kemajuan teknologi saat ini, orang-orang lebih senang mengutak-atik gawai dibanding menggali isi sebuah buku.
Tapi setelah apa yang saya lihat hari ini, ternyata perilaku masyarakat bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi penyebab rendahnya budaya literasi kita, namun bisa jadi juga karena tidak adanya bacaan yang cukup berkualitas. Bisa jadi, karena kurangnya buku nonfiksi yang cukup informatif dan sesuai untuk konsumsi publik, masyarakat beranggapan bahwa buku-buku nonfiksi merupakan bacaan 'berat' dan itu membuat mereka enggan untuk membaca. Yang menyedihkan, hal ini berlaku bukan hanya pada buku nonfiksi, tapi juga buku fiksi. Terkecuali novel sastra, secara pribadi saya tak melihat adanya novel yang cukup berkualitas. Tentu, standar kualitas dan selera tiap orang berbeda-beda. Namun bagi saya, karya fiksi yang bagus bukanlah yang hanya bercerita dengan tujuan menghibur, tapi juga dirangkai dengan kata-kata indah serta memiliki makna yang mendalam di baliknya. Dan dari sekian banyak novel fiksi populer yang ada, saya kira hanya segelintir novelis Indonesia yang memenuhi kriteria tersebut. (Mungkin saya salah, karena akhir-akhir ini saya tak begitu sering membaca novel, terlebih lagi novel Indonesia.)
Belum lagi harga buku yang terus melangit; membuat akses ilmu pengetahuan semakin tidak terjangkau. September 2015 lalu, terjadi kenaikan harga buku sebanyak 10-20% yang disebabkan atas pengenaan PPN 10% pada penjualan buku non-pendidikan. Banyak konsumen yang mengeluhkan hal tersebut, serta tak sedikit penerbit kecil yang gulung tikar. Saya pun terkejut melihat harga buku yang cukup tinggi sekarang dibanding 5 bulan yang lalu.
Dengan membaca buku, kita akan mencapai tingkat kedalaman pengetahuan yang lebih baik dibanding sekedar membaca artikel melalui media daring. Namun jika harga buku terus naik, akses ilmu pengetahuan akan menjadi lebih terbatas dan eksklusif, tidak lagi berlaku secara universal.
Keadaannya berbanding terbalik dengan buku-buku asing; setidaknya, buku-buku berbahasa Inggris. Buku fiksi dan non-fiksi tersedia dalam berbagai pilihan yang beragam, dan isinya bisa dibilang cukup berkualitas (secara pribadi). Saya tak bisa berkomentar banyak soal harga, karena buku asing disini harganya jauh lebih mahal dibanding buku lokal, dan sudah lama sekali sejak saya terakhir membeli buku berbahasa Inggris di negara yang berbahasa Inggris pula. Tapi ketika saya membeli buku berbahasa Inggris di Jepang, dapat saya katakan bahwa harganya cukup terjangkau dan tidak terlampau mahal. Mungkin juga disebabkan karena budaya membaca yang begitu kuat di Jepang sehingga harga buku cukup terjangkau.
Jika dirangkum secara keseluruhan, banyak sekali faktor yang melatarbelakangi rendahnya budaya literasi di Indonesia. Variasi buku yang kurang beragam, serta tingginya harga buku merupakan penyebab mengapa masyarakat enggan menjadikan membaca sebagai budaya keseharian dan merasa rugi untuk membuang-buang uang demi buku. Dengan kenyataan yang seperti itu, masyarakat tak bisa sepenuhnya disalahkan atas rendahnya budaya membaca di negara kita. Harus ada inisiatif dari seluruh pihak, baik itu dari pemerintah, pihak toko buku, pihak penerbit dan penulis, serta masyarakat jika kita ingin meningkatkan angka literasi di Indonesia.
Comments
Post a Comment